Ketupat Lebaran (Bagian 2 Dari 4)

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan bersambung Rektor IAIN Palopo. Bagian pertama telah terbit sebelumnya.
Opini | hijaupopuler.id
Bagaimana alur ceritanya sehingga momen idul fitri diidentikkan dengan lebaran?
Kata idul fitri berasal dari bahasa Arab ‘id al-fitr yang berarti 'kembali kepada fitrah' atau kesucian sebagaimana bayi yang baru lahir di dunia ini.
Adapun kata lebaran, tidak jelas dari bahasa apa asal usul kata tersebut; ada yang menyebut dari bahasa Jawa ‘lebar’ (artinya 'usai'), atau bahasa Madura 'lober' (artinya 'tuntas'), atau bahasa Sunda 'lebar' (artinya melimpah ruah), atau dari kata bahasa Betawi 'lebar' (artinya 'luas dan dalam').
Ada yang menyebut filosofi kata 'lebaran' dari akar kata 'leburan' (Jawa, yang bermakna menyatukan); Akar kata ini dikaitkan dengan ajaran Syaikh Siti Jenar, bahwa agar setiap hamba selepas Ramadhan mampu meleburkan sifat-sifat ketuhanan ke dalam dirinya, minimal sifat sabar dan penyayang.
Bagi orang Betawi, kata 'lebar' yang dapat diartikan luas, merupakan gambaran keluasan atau kelegaan hati setelah melaksanakan ibadah puasa, serta kegembiraan menyambut hari kemenangan.
Dari beragam kata yang diduga sebagai asal-usul kata lebaran tersebut, kata 'lebaran' mengandung makna tuntas, komplit, atau usai. Maksudnya, tuntas menjalankan puasa selama sebulan penuh sehingga diharapkan hati dan pikiran umat Islam semakin luas, legowo dan melimpah ‘ruah’ dengan pintu maaf. Inilah makna terpenting dari Lebaran.
Mengapa idul fitri (baca: di Indonesia!) identik dengan maaf-memaafkan?
Sejatinya dalam Islam, maaf-memaafkan bukan hanya pada momen lebaran, melainkan setiap saat; namun tradisi lebaran yang merupakan 'terjemahan' ke dalam bahasa lokal Indonesia diisi dengan acara maaf-memaafkan; tradisi ini dimulai pada masa Wali Songo; adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim yang populer dengan nama Sunan Bonang (1465-1525) yang memperkenalkan tradisi lebaran dengan meminta umat Islam untuk saling bermaaf-maafan sebagai 'penyempurna' atas pengampunan atau permaafan yang diberikan Allah swt.
Bukankah dengan ibadah puasa dan rangkaian amaliyah Ramadhan, Allah swt telah mengampuni atau memaafkan dosa-dosa umat Islam, maka dengan saling memaafkan satu sama lain, dosa dan kesalahan kepada sesama juga menjadi termaafkan, sehingga benar-benar menjadi bersih dari segala dosa, ibarat bayi yang baru dilahirkan. Itulah yang dimaksudkan dalam penggalan hadis “ka yawm waladathu ummuhu.”
Tradisi ini terpelihara dengan baik sepanjang waktu, hingga sebahagian besar umat Islam Indonesia, idul fitri terlanjur dipahami sebagai saling maaf memaafkan, bahkan bila perlu saling mengunjungi memperkuat kembali hubungan silaturahim.
Bila maaf-memaafkan ini dirujuk kepada ajaran Islam, maka salah satu sikap yang diperlukan dalam konteks saling memafkan adalah sikap lapang dada. Kata lapang maknanya (dalam batasan tertentu) sama dengan ‘lebar’. Dari kata dasar 'lebar' inilah muncul kata 'lebaran.'
Kata 'lebar' tersebut bukan dalam pengertian fisik, melainkan non fisik, jadi dekat sekali dengan makna 'lapang.'
Di dalam al-Qur'an ditekankan bahwa perihal maaf-memaafkan itu selalu dihubungkan dengan sikap berlapang dada; al-Qur'an menggunakan kata “wa ishfahuu” artinya “hendaklah mereka berlapang dada” (QS. 2:109, 24:22).
Kembali kepada kata 'lebaran,' karena momen idul fitri terlanjur dipahami secara spesifik sebagai momen saling memaafkan, yang karenanya (diyakini) akan semakin memperkuat jalinan silaturahim, sehingga orang merasa perlu saling mengunjungi dari rumah-ke rumah, dari kampung ke kampung; terasa belum afdhal bila belum saling mengunjungi; untuk saling mengunjungi kerabat itulah yang membutuhkan waktu agak panjang, karenanya perlu libur, lebih lama dari libur biasanya.
Akhirnya, ada sebagian yang memplesetkan kata lebaran tersebut dengan kata ‘liburan’; bukankah setiap lebaran kita liburan, apalagi setelah adanya kebijakan cuti lebaran sebelum sesudah hari idul fitri?
Sejatinya di dalam ajaran Islam momen untuk menjalin silaturahim dan saling memaafkan bukan hanya pada saat idul fitri, bahkan sebahagian ulama mengatakan bahwa momen terbaik untuk memberi maaf dan saling memaafkan adalah sebelum masuknya Ramadhan.
Supaya selama Ramadhan kita benar-benar fokus beribadah kepada Allah swt, benar-benar bersih dari dosa dari dosa terhadap sesama manusia; bukankah akan lebih baik menghadap Allah swt setelah bersh dari dosa sesama manusia?
Demikian pula momen memelihara silaturahim itu jangan hanya pada momen idul fitri saja, tapi sepanjang waktu; bukankah Nabi saw sudah mengingatkan bahwa “Barang siapa yang memutuskan hubungan silaturahim, maka dia tidak akan masuk surga,” atau ungkapan lain "Siapa yang memutus hubungan silaturahim hingga tiga hari, maka bila salah seorang meninggal dia akan masuk neraka!”
Karena sudah terlanjur membudaya, maka tetap diperlukan sikap lapang sebagaimana makna kata 'lebar-an' untuk memahami realitas yang ada, bukan mempersempit atau picik dalam memahami realitas dan dinamika umat Islam di Indonesia yang dalam banyak hal berbeda dengan umat Islam di belahan dunia lain.
Kepicikan itu antara lain dengan menganggap beragam bentuk ucapan 'selamat idul fitri' sebagai suatu bentuk 'tasyabbuh,' hingga munculnya sikap sinis terhadap orang-orang yang bila mengucapkan 'selamat idul fitri' mengiringkan kata 'mohon maaf lahir dan bathin.'
Catatan sejarah menunjukkan bahwa ungkapan 'minal aidin wal faizin' awalnya merupakan penggalan syair yang diucapkan oleh Shafiyuddin Al-Huli, pada masa khilafah Islam Andalusia, ketika dia membawakan syair yang konteksnya mengkisahkan dendang wanita di hari raya.
Catatan syairnya bisa ditemukan dalam Dawaawin al-Syi’r al-‘Arab ‘ala Marri al-‘Ushur (XIX:182). Petikan dari salah satu syairnya itu terdapat kalimat “Ja’alnâ minal ‘aidina wal faizina (jadikan kami dari orang-orang yang menang dan orang-orang yang beruntung).”
Sumber lain menyebutkan bahwa kalimat 'minal aidin walfaizin' tersebut muncul pada masa khilafah al-Rasyidûn, yang digunakan sebagai ekspresi kebanggaan atas kemenangan perang yang sebenarnya setelah melakukan peperangan (jihâd fî sabîllah); sehingga kalimat tersebut, 'semoga kita termasuk orang-orang yang kembali (dari perang) dan sebagai orang yang menang (dalam setiap perjuangan Islam).'
Oleh karena, selama Ramadhan dijadikan sebagai masa panjang mengendalikan hawa nafsu, dan bahwa (sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw) “pertempuran terbesar adalah perang melawan hawa nafsu,” karena merasa diri sudah menang berperang mengendalikan hawa nafsu (minimal selama Ramadhan), maka diucapkanlah 'minal ‘aidin wal faizin.'
Pendapat lain menyatakan bahwa ucapan 'minal ‘aidin wal faizin' adalah penggalan yang tidak utuh dari kalimat: “Taqabbala Allahu minnâ wa minkum, taqabbal yâ Karim, wa ja’alanāllāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn wal maqbūlīn kullu ‘ammin wa antum bi khayr.”
Hanya saja, (maaf!), yang memang perlu diperjelas adalah makna kata yang begitu populer dalam masyarakat kita pada momen lebaran, yaitu 'minal ‘aidin wal faizin.'
Kalimat ini pertama 'digugat' untuk tidak menyebutnya diprotes oleh segelintir orang, karena dianggap tidak memiliki asal usul yang jelas, maknanya merusak struktur bahasa Arab; namun dipopulerkan dan dianggap sebagai 'sunnah.'
Kalimat 'minal ‘aidin wal faizin' apabila dirujuk kepada hadis-hadis Nabi saw dan Sirah Nabawiyah, ternyata tidak ditemukan, baik dalam kaitannya dengan momen lebaran maupun dalam penggunaan sehari bagi native speaker bahasa Arab.
(bersambung)
Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo
Apa Reaksi Anda?






